Antara Santri, Maudy Ayunda, dan Ta’lim Muta’allim
Beberapa waktu yang lalu
saya memanfaatkan kuota Youtube paket internet XL Xtra Combo yang saya beli
untuk menyaksikan wawancara antara dua wanita cerdas beda generasi, Najwa
Shihab dan Maudy Ayunda. Siapa yang tak kenal Najwa Shihab? Putri dari mufassir
Indonesia, Prof. Quraish Shihab, yang sangat lihai dalam menguliti
narasumbernya. Tentu kelihaian itu adalah salah satu indikator kecerdasan
seorang Najwa Shihab.
Lalu siapa pula yang tak
kenal Maudy Ayunda? Bintang film perahu kertas itu tak Cuma pandai berakting,
ia juga lihai bernyanyi dan memetik gitar. Pesona kecantikannya seolah
bertambah saat netizen dibuat tercengang ketika ia menggemparkan jagad twitter
dengan sebuah twit singkat yang sebenarnya hanya curahan hati semata.
![]() |
detik.com |
Maudy bingung hendak
melanjutkan S2 dimana, pasalnya ia diterima di dua perguruan tinggi terbaik
dunia, Harvard University dan Stanford University. Menurut kabar terakhir yang
saya dengar Maudy pun melabuhkan pilihan pada Stanford University.
Apakah saya kagum? Jelas,
pasalnya dilema yang ia rasakan dan yang sering saya alami rasanya sangat
jomplang. Di saat saya dilema untuk memilih santap malam dengan indomie telur
di warmindo (warung makan indomie) atau nasi kucing di angkringan, Maudy justru
dilema untuk memilih satu di antara dua universitas terbaik dunia. Namun bukan
itu puncak kekaguman saya dari seorang Maudy Ayunda, pun juga Najwa Shihab.
Adalah ketika Maudy,
dengan malu-malu cantik mengaku di hadapan Najwa bahwa ia memiliki kelainan
dibanding teman-temannya. Ia mengaku bahwa belajar adalah hobinya. Ia tak
pernah merasa bosan ataupun capek belajar karena ketika belajar ia sejatinya tengah
menjalankan hobinya.
“Mungkin itu pula yang
dirasakan oleh Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo ketika menggocek si kulit
bundar di atas lapangan rumput yang hijau. Bola di kaki mereka bergulir dengan
lincah”.
Beberapa saat kemudian,
raut wajah Najwa berubah sumringah, seakan menemukan jodoh yang telah ratusan
purnama ia cari. Dengan lugas Najwa mengaku bahwa dirinya juga memiliki sedikit
kelainan, kelainan itu ialah selalu merasa bahagia ketika akan ujian. Di saat
kebanyakan siswa/mahasiswa bahagia karena guru/dosen tidak masuk kelas, seorang
Najwa Shihab justru bahagia ketika ujian. Maudy Ayunda pun ternyata demikian.
Saya standing ovation untuk
dua wanita luar biasa ini.
Saya tidak sendiri,
sodara-sodara. Di kolom komentar banyak yang mencurahkan kekaguman mereka
dengan komentar-komentar yang beragam. Bahkan tak ada satupun komentar negatif
yang saya jumpai meski masih ada saja yang memberikan dislike di video
seberfaedah itu.
Sejenak saya berfikir,
memaksa memori memutar ulang ingatan-ingatan di masa lalu. Ketika saya masih
nyantri di sebuah pesantren yang terletak tak jauh dari Narmada, salah satu kitab
yang paling akrab dengan kami, para santri, adalah kitab ta’lim
al-muta’allim. Sebuah kitab yang membahas adab seorang penuntut ilmu. Salah
satu frase dalam kitab tersebut yang sangat ingin saya dapatkan adalah lazzatul
‘ilmi, frase ini dapat dipahami sebagai kenikmatan memiliki ilmu ataupun
kenikmatan menuntut ilmu.
Kenikmatan menuntut ilmu
artinya kita belajar memang karena kita suka dan menikmatinya. Bukan karena
tuntutan material apalagi demi nilai dari guru. Berat memang! Apalagi di zaman
sekarang yang sangat dekat dan lekat dengan budaya kapitalisme. Tapi yang
penting kan berusahanya, kita tak pernah dituntut “hasil”, hanya “proses” yang
ingin Tuhan lihat, seberapa serius kita dalam menuntut ilmu.
Yang membuat saya sedikit
bingung adalah setelah mencoba googling riwayat pendidikan Maudy Ayunda,
ia tak pernah sama sekali mengenyam pendidikan di pesantren. Ngga ada ceritanya
Maudy Ayunda nyantri di Al-Amien atau Gontor. Bahkan SMP dan SMA nya
diselesaikan di SMP Mentari International Jakarta dan SMA British International
Jakarta, kuliah S1nya pun di Oxford University, bukan di UIN atau STAIN, hehe.
Berdasarkan riwayat pendidikan ini nampaknya Maudy Ayunda belum pernah belajar
kitab ta’lim muta’allim, tapi kok dia bisa mendapatkan ladzzatul
‘ilmi? Dan apa kabar kita yang pernah mempelajari kitab tersebut?.
Inilah rahasia Allah SWT.
Tapi percaya aja Allah ngga mungkin zholim. Maudy Ayunda bisa berada pada
posisi yang bikin iri banyak orang seperti sekarang ini, tentu adalah bentuk
keadilan Tuhan. Pasalnya sejak kecil oleh orang tuanya, Maudy memang selalu
dibiasakan untuk bersahabat dengan buku. Bahkan pernah suatu ketika ayahnya
pergi ke Singapura hanya untuk membelikan buah hatinya buku. Apa kabar kita
yang hendak beli buku dengan harga di atas 100 ribu aja masih mikir
berkali-kali? Padahal kalau dipikir-pikir membeli buku itu ya investasi juga,
investasi di bidang pengetahuan.
Akhirnya kekaguman yang
saya ataupun Anda rasakan hanya akan menjadi tidak berfaedah ketika tidak ada follow
up nya dalam kehidupan nyata. Melihat orang-orang di atas kita dalam bidang
pendidikan dan pengetahuan adalah upaya untuk memacu diri agar terus belajar
dan meminimalisir kegiatan yang tidak berfaedah. Bukan untuk mengecilkan
semangat dan menumbuhkan fesimisme dalam derap langkah.
Semua orang punya jalan
masing-masing untuk sukses. Bedanya ada yang berusaha menelusuri dan terus
mencari jalannya. Ada pula yang termangu di pinggir jalan melihat orang-orang
berusaha mencari jalannya a.k.a Cuma jadi penonton. Anda golongan yang mana?
Jogjakarta, 1
April 2019
17:14 WIB
Komentar
Posting Komentar