REVIEW BUKU: Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat (Mark Manson)
Sejujurnya sudah sejak lama saya ingin membeli dan membaca buku
fenomenal ini. Namun setiap kali ke toko buku selalu kehabisan stock. Mau beli online
rasanya berat di ongkir. Meski tarifnya tak seberapa namun bagi anak kos
macam saya angka tersebut lumayan untuk bertahan hidup dengan makan ala
kadarnya.
Taḥadduṡ bi an-ni‘mah, sekitar
dua minggu lalu saat mampir ke toko buku langganan di daerah Kota Baru, saya
akhirnya dapat membeli buku ini. Perlu waktu dua minggu untuk membaca habis 246
halaman yang ditulis oleh Mark Manson. Ini tak terlepas dari proyek pengerjaan
skripsi saya yang mau tidak mau harus saya prioritaskan terlebih dahulu.
Dan berikut sedikit review dari saya tentang buku terlaris di dunia
versi New York Times dan Globe and Mail itu.
Judul : Sebuah
Seni untuk Bersikap Bodo Amat (Terjemahan)
Judul Asli : The Subtle
Art of Not Giving a F*ck
Penulis : Mark
Manson
Alih Bahasa : F. Wicakso
Penerbit : Grasindo
ISBN : 571840004
Cetakan : XXIV (Mei
2019)
Buku ini bergenre self improvement yang ditulis oleh seorang
blogger kenamaan dengan berjuta pembaca, Mark Manson. Dilihat dari judulnya
saja buku ini sudah menjanjikan pengalaman baru dalam membaca buku sebuah self
improvement. Benar saja, di awal membaca buku ini Anda seperti diajak
berdialog oleh Mark Manson. Buku ini tidak mengajarkan Anda bagaimana kiat-kiat
sukses, bagaimana hidup yang bahagia, atau kumpulan tips menjadi orang kaya.
Buku ini mengajarkan Anda sebuah pendekatan yang waras untuk menjalani hidup
yang lebih baik.
Buku ini menyentuh sisi kesadaran intelektual kita terhadap banyak
hal sepele dalam hidup. Mark Manson juga memberi pukulan telak terhadap
motivator-motivator mainstream yang kebanyakan membual dan membuat audience nya
memuji kehebatan berbicara sang motivator dari pada menuai manfaat dari seminar
yang mereka berikan.
Bersikap bodo amat yang dimaksud dalam buku ini bukanlah
sikap apatis dan lepas tanggung jawab. Sebaliknya Mark Manson mengajak kita
untuk menentukan apa saja yang patut disikapi dengan bodo amat dalam
hidup ini.
Menurut Mark Manson manusia adalah makhluk yang tak sempurna dan
penuh keterbatasan. Kita tidak bisa sukses dalam semua hal. Kita tidak mungkin
unggul dalam banyak aspek. Kekurangan dan keterbatasan adalah hal yang lumrah.
Akan tetapi banyak pribadi yang larut dalam pesimisme lantaran terlalu meratapi
dan memikirkan kekurangan dan keterbatasan mereka.
Kita juga tak bisa selalu memaksa diri untuk bersikap positif
setiap waktunya. Akan ada saat di mana kita melakukan kesalahan, kekeliuran,
dan hal negatif lainnya. Sayangnya banyak orang yang terlalu larut dalam
menyesali hal negatif yang pernah ia lakukan. Sehingga energinya habis untuk
sebuah sikap pasif yang tak produktif.
![]() |
dok. pribadi |
Lantas apa pesan Manson untuk pembacanya? Berdamai dengan kesalahan
dan semua hal negatif dalam hidup adalah kekuatan utama untuk lebih positif ke
depannya. Maklumi kekurangan Anda, jangan diumpat terus-terusan! Tak perlu
fokus bersedih dengan kekurangan itu. Ketika Anda bisa berdamai dengan hal
negatif maka energi Anda bisa disalurkan untuk hal-hal positif lainnya.
Ajaran Manson yang sangat berkesan bagi saya juga terkait dengan
konsep “tanggung jawab” dan “tren menjadi korban”. Mari kita bahas satu per
satu.
Perihal tanggung jawab, akhir-akhir ini banyak orang yang
menganggap kesalahan dan tanggung jawab adalah satu kesatuan. Siapa yang
melakukan kesalahan dia lah yang harus bertanggung jawab atas kesalahan itu.
Padahal dua hal ini sangat berbeda. Kesalahan itu bisa dilakukan siapa pun
namun tanggung jawab ada pada diri kita masing-masing.
For example: Si A dipecat
oleh atasannya karena ada pegawai baru yang kebetulan merupakan “orang dekat”
si bos. Si A pasti kecewa dan sakit hati atas perlakuan zalim atasannya itu
bukan? Yang salah di sini jelas jelas ya si atasannya, akan tetapi apakah
atasannya tersebut juga bertanggung jawab dengan kekecewaan dan sakit hati yang
dirasakan si A? Tentu tidak! si A lah yang bertanggung jawab atas kekecewaan
dan sakit hati yang ia rasakan. Dia lah yang paling bertanggung jawab atas
dirinya untuk bangkit dan menjadi lebih baik dalam menatap hari-hari esok.
Dalam sebuah hubungan percintaan hal ini juga sering terjadi. Tak
mungkin suatu hubungan diisi dengan bahagia dan canda tawa terus menerus. Ada
waktu di mana perasaan yang bikin hati ngilu singgah dalam benak. Kerap kali
kita menyalahkan pasangan kita atas kesalahan yang dia lakukan sehingga kita
jadi sakit hati. Bisa jadi dia memang salah, namun kita lah yang bertanggung
jawab atas perasaan kita sendiri. Kita lah yang bertanggung jawab untuk
melakukan normalisasi perasaan sehingga tercipta stabilitas mood yang
dikehendaki.
Sedangkan “tren menjadi korban” juga cukup berkaitan dengan konsep
tanggung jawab di atas. Banyak orang yang senang merasa menjadi korban.
Seolah-olah dia lah yang paling dizolimi dalam suatu peristiwa. Dalam ruang
lingkup yang lebih kecil, hubungan antara pria dan wanita kerap dihampiri oleh
“tren menjadi korban” ini. Si pria merasa dia lah yang disakiti, si wanita pun
merasakan hal yang sama. Kalau sudah begini jadinya siapa yang sebenarnya salah
dan tersakiti? Ya bisa jadi dua-duanya. Ketika kita merasa bahwa kita telah
menjadi korban (disakiti, dikecewakan, dsb), percayalah bahwa kita bukanlah
“korban satu-satunya”.
Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja, mereka yang sedang bercumbu
dengan rasa malas atau mereka yang sedang menggebu dalam usaha yang keras.
Semangat memang dibutuhkan dalam suatu usaha. Akan tetapi lebih dari itu,
diperlukan sebuah paradigma yang waras agar apa yang kita lakukan menjadi lebih
bermakna dan itu akan Anda dapatkan setelah membaca buku ini.
Yogyakarta, 4 Juli 2019
Izzu
Komentar
Posting Komentar